Breaking

Rabu, Juni 20, 2012

TEMBANG MACAPAT BANYUMASAN

Nembang merupakan kata bentukan dari kata dasar tembang. Nembang adalah kata kerja sedangkan tembang adalah kata benda.  Secara harafiyah nembang dapat diartikan sebagai melakukan atau melagukan tembang. Adapun tembang merupakan istilah konseptual yang secara khusus akan dijabarkan sebagai berikut.
Ditengah-tengah kehidupan masyarakat luas dijawa tengah sering digunakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang dianggap mempunyai kemiripan makna dengan kata nembang. Kata tersebut adalah nyanyi (bernyanyi, menyanyi). Masyarakat awam pada umumnya tidak membedakan antara makna kata nembang dan nyanyi. Orang menyanyikan lagu-lagu popular diatrolik tempo dulu disebut juga tembang kenangan. Lantunan suara pada pesindhen, dalam wayang kulit, penari jawa, pemain kethoprak, dan pemain seni tradisi jawa lain dalam suatu pementasan seni tradisi jawa juga sering disebut nyanyi. Kata nembang dan nyanyi dalam penggunaaan ditenagh masyarakat luas sering kali terjadi slaing tuka, dianggap memiliki kesamaan makna. Pada kalangan masyarakat luas nembang diartikan sebagai melagukan atau melanturkan teks,syair, atau cakepan suatu lagu jenis apapun  dengan melodia atau lagu tertentu.
Pada kalangan masyarakat karawitan jawa, maka kata nembang dan nyanyi dibedakan. Nembang dipahami sebagai melagukan jenis tembang dengan lagu yang umumnya menggunakan laras atau nuansa slendro-pelog. Kata tembang dalam bahasa jawa tingkatanya halus disebut sekar. Selain sebagai kata halus untuk kata tembang, sekar juga sebgai bahasa halus kata kembang(bunga). Selain memiliki suku kata ahir sama yakni bang, kedua juga memiliki kemiripan sifat indah mempesona demikian pula tembang. Bentuk, warna dan bau kembang secara alami sungguh indah, segar mempesona. Karna itulah maka kata tembang dan kembang memiliki dasanama yang sama , yaitu sekar.

Dalam kehidupan keseharian masyarakat jawa tengah kata tembangs erring muncul. Tembang dolanan, tembang kenangan, tembang gedhe, tembang tengahan, tembang macapat dan tembang cilikdan lain-lain sering diucapkan dalam pembicaraan keseharian. sedangkan kata nembang sebagi kata kerja tembang tidak kalah seringnya terucap dalam sebgai pembicaraan. Kata ajar nembang, seneng menunjukan bahwa kata isi masih eksis  digunakan oleh masyarakat luas dijawa tengah.
Beberapa sumber lian menyebutkan tembang sebgai tembang sing dilagokake, kata yang dilagukan. Penjelasan ini tampak singkat tapi tenuh arti. Tembang dalam bahasa Indonesia artinya kata, sedangkan dilagokke berasal dari kata lagu, dilagokke berarti dilagukan. Tembang sing dilagokake  didalamnya terdiri dari dua unsur yakni pertama tembang kedua lagu. Definisi singkat ini mengandung arti bahwa pembacaan kita dilakukan dengan menggunakan lagu. Kata tidak sadar diucapkan secara verbal sebagaimana orang membaca  teks berita melainkan disampaikan secara berlagu and bernada-nada tertentu.
Bila tembang diartikan sebgai tembang sing dilagokake maka nembang merupakan tindakan sebagai tindakan pelagaun tembung-tembang yang tersusun didalam teks tembang. Teks dalam suatu lagu umumnya terdiri atas susunan kata membentuk prase atau kalimat. Amat jarang teks lagu terdiri atas satu kata berdiri sendiri tanpa kata lainya. Teks lagu dalm dua music internasional juga disebut lirik atu syair. Dlam duania tembang dan karawitan jawa tekas lagu disebut cakepan. Walaupun muncul dari sumber lisan ternyata keterangan tentang tembang sebgai tembang sing dilagokake masuk akal dan bermanfaat.
Selain melalui sumber lisan, keterangan tentang tembang juga dapat dijumpai  dalam berbagai tulisan. Dari beberapa sumber lisan dari berbagai pelaku dan pemikir dalm bidang seni ini ditemukan batasan kata tembang. Dilihat secara sekilas batasan yang  telah terbuat tampak beragam . namun secara substansial batasn-batasan tembang mempunyai batasan makna.
Padmasoekotja (1960:25) mengatakan bahwa tembang adalah reriptan utawi dhapukaning basa mawa paugeran  tartamtu kang pamacane kudu dilagokake kanggo kagunan swara. Artinya: karangan atau rangkain bahasa menggunakn pathokan tertentu yang cara membacanya harus dilakukan dengan seni swara. Unsure-unsur yang dimaksud adalah:1)karangan menggunakan pathokan, dan 2). Pembacaan karangan dengan seni suwara.
Maryadi dalam macapat teori dan praktek tembang mengatakan bahwa  sekar utawi tembnag inggih punika mengaku suraos reroncening swanten ing manwai titalatas serta kinanthenan rumpakaning basa sumawana sastra ing ghumatok. Sekar tau tembang mengandung arti penataan suara yang menggunakan titi nada dan disertai susunan bahasa  serta sastra tertentu.
Padmasoekotja dalam batasannya menempatkan aspek sastra sebagai aspek pertama dan aspek suara atau lagu sebgai unsure kedua. Sedangkan mawardi sebaliknya aspek lagu yang disebutnya sebgai penataan suara yang menggunkan titilaras yang ditempatkan sebgai unsure pertama, sedangkan aspek sastra sebagai unsur kedua. Dalam hal ini depinisi tembnag yang dibuat oleh mawardi  tampak lebih member penekanan dalam aspek lagu yang dikatakan menggunakan titi laras.
Beberapa definisi tembang yang ditentukan ditengah amsyarakat, baik diperoleh secara lisan  maupun tulisan mempunyai unsure sama yakni: 1). Sastra, juga disebut cakepan, teks; dan 2). Suara dalm arti lagu. Pendapt kedua pada pakar tembang sebagi dikutip menunjukan bahwa  baik pada aspek sastra maupun lagu mempunyai aturan atu ketentuan. Setelah diamati secara saksama secara berkaitan dengan berbagi teks bentuk tembang yang ada memang ada bahwa kedua unsure tembang tersebut kawengku ing paugeran (terbingkai oleh peraturan).
Telah disinggung sebelumnya bahwa dalm teks tembang pada kususnya macapat terdapat aturan normative guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan. Guru lagu, guru lagu dan guru wilangan merupakan ketentuan mengikat pada setiap jenis karya sastra yang berbentuk macapat. Setiap teks berbentuk macapat karya siapapun, dimna pun dan kapanpun tunduk pada kaidah normative yang oleh darsono dalam widodo. Disebut sebgai aturan structural. Bila suatu jenis teks dinamakan tembang macapat maka dapat dipastikan bahwa bahasa yang tersusun terikat oleh ketentuan structural tembang macapat. Apabila ditemukan kekeliruan  atau ketidak tepatan terhadap ketentuan structural  guru gatra, guru wilangan dan guru lagu maka orang akan dengan mudah mengatakan bahwa tekas macapat terdapt salah atau ada bagian yang tidak benar. Letak kesalahan dapat saja terjadi pada guru garta, guru lagu dan guru wilangan.
Pada kalangan masyarakat seni karawitan, enmabang yang merupakan bentukan dari kata tembang, secara spesifik diartikan sebgai seseorang dan atau kelompok orang yang melakukan teks  tertentu atau berlaras atau bernuansa slendro pelok.
Istilah macapat dilingkungan masyarakat jawa tengah dimaknai secara beragam . dikalangan masyrakat awam  macapat sering diartikan sebagai maca papat-papat. Maksudnya adalah membaca teks sastra bentuk macapt dengan lagu pada setiap mendapatkan empat suku kat dilakukan pemberhentian sejenak untuk mengambil nafas, setelah dilanjutkan lagi. Pengertian macapt yang seperti ini tersebar dikalangan masyarakat luas dijawa tengah.
Ki Nartosabto dalam macapat teori dan praktek nembang mengatakan bahwa beberapa lakon pakeliran purwa  rkaman pita kaset audio pada adegan limbukan  dan gara-gara sering menupas tentang makna macapat. Setelah dilakukan batah antar tokoh dalm wayang kulit perihal makna macapt pada ahirnya menyetujui  bahwa macapat merupakan akronim dari maca  parepat artinya membaca pada acara rapat atau pertemuan. Pembacaan teks macapt dengan lagu tertentu secara bergiliran yang sering disebut sebgai macapatn sering dilakukan  hingga pada ahir era Kinartosabta, sikatar tahun 1980.
Arti macapat sebagimana yang beredar sebagi maca papat-papat didalam masyarakat luas dijawa tengah oleh para pelaku karawitan dan sastra jawa disebut salah kaprah. Waluapun pengertian demikian juga memiliki dasar argumentasi., ialah bahwa dalam melagukan tembang macapat  sering kali setiap empat suku kata berarti berhenti sejenak untuk sekedar menambil nafas. Dalam pembacaan teks macapat semacam ini terkesan lagu lebih dipentingkan dari pada teks. Karena dalam pembacaan teks macapt terutama gaya Surakarta sebagi waosan memiliki konvensi  normative lagu winengku sastra nyang mengisatkan  bahwa dalam pembacaan teks macapat kejelasan cakepan lebih ditentukan, maka oleh para ahli pemkanaan dinggap demikian kurang benar.
Selain maca papat-papat dan maca parepat, masih ditemukan beberapa arti macapt lainnya yang didasarkan pada pengertian secara mirip jawa dhosok. Beberapa pengertian secara mirip tersebut antara lain: macapat, maca cepet, macakep, maca mat, dan lain-lain.
Suharjendro dalam macapat teori dan praktik nembang memberikan alasan mengapa suatau karya disebut macapat. Terdapat tujuh kemungkinan alasan tembang disebut macapat:
1.                           maca papat-papat membaca teks dengan memenggalkan empat suku kata,misalnya: ngelmu iku (4 wanda)kalakone (4 wanda) kanthi laku (4 wanda) setya budya (4wanda) pangekese (4wanda) durangkara (4 wanda).
2.                           Manca-pat ,isi teks tembang menceritakan kejadian dipusat bumi daru empat penjuru angin (keblat papat lima pancer)
3.                           Manca-pat dari panca-arpat (lima sandangan atau guru lagu, yaitu a (legenda), i(wulu), é (taling tarung),- e (pepet), pantangan dipakai diahir gatra.
4.                           Manca-pat:  membaca cepat (dengan tempo cepat), tidak banyak luk, wilet dan bunga-bunga musical tertentu, yang lebih dipentingkan teks dapat terdengar jelas.
5.                           Macakep dari maca cakepan, yaitu membaca  syair tembang  atau cakepan temabang.
6.                            Maca mat :( maca kanthi dimatake: membaca dengan perhatian penuh dinikmati), atau maca maat (membaca dengan irama dan lagu)
7.                           Maca-pat yakni membaca (temabng) yang keempat, yaitu:
Maca sa-lagu atau digolongkan dengan tembang atau sekar sepisan.
Maca ro-lagu atau digolongkan dalam sekar ageng kepindho.
Maca Tri-lagu atau digolongkan dalam sekar tengahan.
Maca pat-lagu atau digongkan dalam tembang atau sekar alit.
 Dalam sumberlain menyebutkan bahwa macapat atau tembang cilik( sekar alit) lebih terkenal dengan nama tembang macapat. Sedangkan macapat itu sendiri adalah karya sastra berwujud puisi yang menggunakan bahasa Jawa baru dan terikat dengan aturan-aturan: 1) guru gatra, yaitu jumlah baris tiap satu bait, 2) guru lagu, yaitu jatuhnya huruf vokal di akhir baris, dan 3) guru wilangan, yaitu jumlah suku kata tiap baris. Jadi yang dimaksud dengan tembang macapat yaitu bentuk karya sastra puisi yang terikat aturan-aturan diantaranya guru gatra,guru lagu dan guru wilangan, dibacanya menggunakan laras slendro-pelok.
Sejarah singkat macapat bermula dari Basa Jawa kuno yang merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai runtuhnya Majapahit. Sejak datangnya pengaruh Islam, bahasa jawa kuno berkembang menurut dua arah yang berlainan yang menimbulkan bahasa jawa pertengahan dan bahasa jawa baru. Kemudian, bahasa jawa pertengahan dengan kidungnya berkembang di Bali dan bahasa jawa baru dengan macapatnya berkembang di Jawa.
Lahirnya macapat berurutan dengan kidung muncullah tembang gede berbahasa jawa pertengahan, berikutnya muncul macapat berbahasa jawa baru. Dan pada zaman Surakarta awal timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan berbahasa jawa baru banyak digemari adalah kidung dan macapat. Proses pemunculannya bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa pertengahan yang biasa disebut dengan kitab-kitab kidung, kemudian muncul karya-karya berbahasa jawa baru berupa kitab-kitab suluk. Kitab suluk ini memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan macapat.
Memang belum ada kepastian kapan macapat itu lahir. Namun demikian beberapa sumber  mengatakan bahwa macapat telah ada pada awal tumbuhnya  kerajaan islam Demak  dipulau Jawa  dan menjelang keruntuhan keruntuhna majapahit. Pada saat itu perngaruh hindu perlahan-lahan menyusut sementara pengaruh islam yang semula berkembang di pesisir kian meluas. Disamping itu timbul kesadaran ke-jawa-an disegala lapisan masyarakat, tidak terkecuali dikalangan pujangga. Karya sastra tidak lagi  serat dan ajaran-ajaran hindu. Sulitnya memahami persajakan  dan lagi metrum kakawin, tidak dipakainya lagi bahasa jawa kuna sebagai alat komunikasi dikalngan masyarakat umum, dan adanya nilai-nilai baru yang dibawa oleh agama Islam  menuntut ebntuk ungkap baru dlam dunia sastra. Bentuk ungkap baru itu berupa sekra tengahan dan sekar macapat. Berdasarkan kenyataan bahwa agama Islam telah berkembang pada abad XVI dan kerajaan majapahit runtuh  pada tahun 1478 maka dapatlah diajukan suatu dugaan bahwa macapat lahir pada pertengahan abad ke XV (saputra dalam widodo).
Sumber lain menyebutka bahwa tembang macapat merupakan puisi yang tumbuh pada jaman  jawa baru. Puisi tersebut secara structural  berbeda dengan karaya puisi yang telah muncul pada jamna sebelumnya , yaitu pada jaman jawa kuna. Pada jaman jawa kuna telah muncul sastra puisi yang disebut kakawin. Bahasa jawa baru mulai dipakai pada ahir keruntuhan kerajaan majapahit dan munculnya kerajaan islam demak. Dimungkinkan sekar macapat telah ada pada abad XV.
Waluyo dalam macapat teori dan praktek tembang menyebutkan bahwa tembang amcapat diciptakan oleh Giri kedhaton (sunan giri). Sunan  giri menularkan tembang macapat kepada sunan bonang  yang kemudian disebar luaskan kepad para wali lainnya. Tembang macapt diciptakna oleh sunan giri adalah hal yang baru. Ia mnengambil metrum macapat yang telah ada  sebgai awrisan budaya generasi sebelumnya. Ada pula yang emnyebutkan bahwa jika dilihat dari sudut persajakan sekar macapt sam dengan sekra tengahan, dan bahwa sekar macapat tumbuh bersama-sama dengan puisi jawa tengahan benar, maka dapt diapstikan bahwa sekar macapat setidak-tidaknya telah aada pada tahun 2541 mashei. Angka tahun itu dipastikan daris engkalan teks kidung subrata dalam widodo yang berbunyi tiga-rasa-dadi-jalma (1463 caka, atau tahun 1541 mashei).
Lain halnya dengan macapat banyumasan, dimana tembang-tembang macapat yang ada didalam macapat banyumasan menggunakan logat banyumasan, padahal Logat Banyumasan ditengarai sebagai logat bahasa jawa yang tertua. Hal ini ditandai dengan beberapa kata dalam Bahasa kawi/sanksekerta yang merupakan nenek moyang dari bahasa jawa yang masih dipakai dalam logat Banyumasan seperti kata rika (jw = kowé, ind = kamu), juga kata inyong yang berasal dari ingong serta pengucapan vokal a yang utuh tidak seperti Ã¥ (baca a tipis / miring) yang menjadi pengucapan dialek Banyumasan yang masih berbau sanksekerta. Memang tidak ada sumber yang pasti yang menyebutkan bahwa bahasa jawa kuna lebih duluan dari pada  bahasa sansekerta atau sebaliknya akan tetapi bahasa kawi atau sansekerta, lebih tua dari pada jawa tengahan, padahal bahasa-bahasa yang dipakai dalam tembang-tembang macapat yang ada  disolo atau jogja yang jelas menggunakan jawa modern. Bukankah itu sebuah keistimewaan dimana tembang yang terlahair pada zaman jawa baru akan tetapi macapat banyumas masih menggunakan jawa kawi atau sansekerta. Seperti halnya contoh tembang asmarandana logat banyumasan yang ada dibawah ini:
Gemiyen inyong tekan cilik
Ditresnani biyung rama
Dipun gendhong kewar-kewer
Ngger nangis dikundang-kundang
Dililing lan disawang
Inyong nangis tulung-tulung
Itu adalah sebuah bentuk nyata yang ada pada tembang macapat banyumasan. Bahwa ejaan-ejaan yang dipakai dalam sansekerta atau kawi masih dipakai dalam tembang-tembang banyumasan. Seperti kata inyong yang tertulis dalam baris pertama dan ke enam diatas,  itu adalah bukti kata-kata yang dipakai dalam macapat banyumasan masih banyak kata-kata yang mengadopsi dari jawa kuna.
     Kedua dalam bentuk pelafalan, sebagai contoh kata rama kalimat pada baris kedua tembang diatas  yang berbunyi ditersnani biyung rama, dalam tembang banyuman kata itu masih terbaca jelas vokal A-nya, akan tetapi bila ditembangkan dalam logat solo atau jogjakartaan tentunya akan terbaca jelas O. itu cukup beralasan mengapa tembang banyumasan itu masih dekat dengan bahasa sansekerta atau kawi. Semua yang tertulis diatas merupakan isi, alasan dan keistimewaan dari macapat banyumasan.
     Memang hal itu tidak begitu pasti apakah benar adanya bahwa, bahasa yang dipakai didaerah banyumas itu benar-benar karena terpengaruh oleh ejaan-ejaan sansekerta atau jawa kuna. Hal itu dikarenakan daerah banyumas atau eks karsidenan banyumas berdekatan dengan Bahasa Sunda, dimana bahasa sunda juga sama halnya dengan bahasa banyumasan dimana dalam pelafalanya  A-nya itu jelas-jelas terucap. Berbeda dengan bahasa-bahasa orang-orang jawa yang lainya seperti jogja, semarang, solo dan lain, yang kesemuanya itu hampir semua pelapalan A-nya itu tidak terlihat. penapsiran-penapsiran itu terbukti bahwa daerah-daerah yang dekat dengan wilayah bahasa sunda makin jelas kekhasan banyumasnya, akan tetapi kalau kita lihat semakin ketimur, kekhasan bnayumasan itu hilang. Sebagai contoh kebumen bagian timur, disitu sudah mulai tidak terlihat jelas pelafalan –pelafalan seperti orang banyumas pada umumnya. Itu memang bisa dijadikan suatau alasan dimana, bahasa sunda juga bisa dijadikan suatu alasan mengapa bahasa banyumas itu begitu jelas kengapakannya.
     Akan tetapi kita tidak bisa melihat dari satu sudut saja,  apakah kita pernah terpikir bahwa, apakah masyarakat banyumas yang terpengaruh atau bahasa sunda yang terpengaruh. Hal itu dapat terlihat dari bentuk bahasa yang digunakan oleh orang sunda didaerah perbatasan dengan jawa tengah.sebahai contoh wilayah cilacap seperti kecamatan karangpucung, cimanggu, majenang, dan wanareja. Semua kecamatan itu terdapat bahasa sundanya akan tetapi itu berurutan kadarnya. Dimana kecamatan karangpucung yang dilihat paling timur menggunakan bahasa sundanya, akan tetapi kadar bahasa sundanya itu sedikit, hanya daerah-daerah tertentu yang pada umumnya daerah pegunungan. Semakin kebarat semakin meluas hingga sampai perbatasan yaitu kecamatan Wanareja itu hampir sebagian besar itu mengguankan bahasa Sunda. Daerah banjarpatoman yang wilayahnya masuk jawa barat itu juga masih banyak masyarakat yang menggunakan bahasa jawa. Apakah itu tidak membuktikan bahwa bahasa sunda justru yang terpengaruh oleh bahasa jawa, dan bahasa jawa daerah banyumas itu terpengaruh oleh bahasa Jawa kuna. Memang hal itu baru kemungkina saja, tidak ada kepastian yang mendukung didalanya. Bila kita melihat keterpenagruhannya bahasa, itu kan tidak jelas siapa yang terpengaruh dan siapa yang mempengaruhi bisa juga keduanya saling mendukung.
     Bila tembang macapat ini dikaitkan dengan IPTEK tentunya banyak sekali keterkaitakan.prof. Teguh menjelaskan bahwa sastra tidak terbatas pada sejarah atau baudaya saja akan tetapi juga terkait pada masalah sosial, hukum, antropogi begitu juga kedokteran banyak lagi yang lainnya . Seperti hal nya jamu gendong, jamu beras kencur dan lain sebaginya , bukankah itu racikan orang jawa yang tertulis dalam sebuah tembang-tembang macapat jaman dulu itu adalah resep obat yang masih digunakan sampai sekarang ini. Itu adalah bukti bahwa sastra sangat luas hubunganya teknologi kedokteran.
Primbon, hitungan-hitungan jawa semua itu tertulis dalam sebuah karya sastra. Serat centhini yang menceritakan bagaimana cara orang bersenggama dan lain sebagainya yang tertulis dalam bentuk tembang macapat. Itulah bukti bahwa sebuah pengetahuan yang tentunya mengandung unsur-unsur teknologi.
     Dari semua yang tertulis diatas tentunya banyak kegunaan-keguanan, diantaranya disamping kita belajar bentuk karya sastra kita juga belajar segala bentuk karya sastra secara modern dimana, bila dihubungkan dengan IPTEK, seperti halnya yang tertulis diatas, itu yang pertama. Kedua membuka kenyataan, seperti halnya yang kita ketahui bahwa tembang macapat yang hidup dalam jawa baru akan tetapi kalu kita lihat dari tembang macapat banyumasan dapat terlihat bahwa macapat sudah hidup sebelum jawa pertengahan. Seperti bahasa-bahasa yang digunakan dalam tembang macapat banyumasan itu. Disamping itu kita juga belajar linguistik dan filologi dimana kata-kata yang ada dalam logat banyumas banyak yang menyerap dari bahasa-bahasa sansekerta atupun kawi. Sebagai contoh kata ingong yang diserap menjadi inyong,itu adalah sebuah kajian lingustik yaitu kata ingong yang diambil dari bahasa sansekerta kemudian diambil menjadi inyong dalam bahasa banyumasan. Memang bila kita bandingkan dengan bahasa jawa pada umumnya semua keterkaitan itu ada, seperti kata ingsun yang berasal dari bahasa jawa kuna yaitu ingwang yang berarti saya.
     Setelah tulisan ini terselesaikan maka diharapkan bisa menjadi pembuktian, bahwasanya macapat yang selama ini dikatakan lahir pada jawa baru ada juga yang lahir sebelum itu, seperti halnya macapat banyumasan yang banyak menggunakan bahasa-bahasa jawa kawi atau sansekerta.  Hal itu memeng memerlukan banyak sekal pembuktian, dimana letak banyumas yang juga berbatasan dengan wilayah sunda, hal itu bisa dijadikan sebuah pertanyaan, oleh siapa, karena apa bahasa banyumasan itu terpengruh.